Jumat, 12 Maret 2010

UU PT

UU PT Dan Tanggung Jawab Direksi
Opini - Artikel
Undang-Undang No 40 tahun 2007, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PT, adalah peraturan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas (PT). Di dalamnya banyak hal yang diatur kembali yang berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu UU No.1 tahun 1995. WASPADA Online



Oleh Rudi Dogar Harahap

Undang-Undang No 40 tahun 2007, yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PT, adalah peraturan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas (PT). Di dalamnya banyak hal yang diatur kembali yang berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu UU No.1 tahun 1995.

Sebelum membahas kepada pokok persoalan Direksi, maka perlu kita fahami dahulu apa itu Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas, menurut UU No.40 tahun 2007 pasal satu ayat (1), adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Sebagai badan hukum, dia memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut sebagai artificial person. Oleh karenanya perseroan terbatas ini merupakan subjek hukum yang menyandang hak dan/ atau kewajiban yang diakui oleh hukum.

Sebagai artificial person, PT juga memiliki organ, sebagaimana layaknya manusia. Hanya saja organ PT cuma ada tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Tulisan ini hanya kita fokuskan pada Direksi, yang menurut UU PT didefinisikan sebagai organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Prinsip Fiduciary Duty

Sesuai dengan definisi tentang Direksi bahwa yang mengelola perseroan adalah Direksi, sehingga dia harus memiliki wewenang yang cukup besar untuk dapat menjalankan pekerjaannya tersebut. Sementara ada doktrin lain yang mengatakan orang yang berkuasa (memiliki wewenang besar) itu cenderung melakukan tindakan korupsi. Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Direksi tentu saja akan merugikan pemilik.

Direksi kedudukannya sebagai trustee menjalankan tugasnya dengan prinsip fiduciary duty yang dilandasi oleh unsur kepercayaan (trust). Prinsip ini hanya bisa berjalan jika diikuti oleh prinsip-prinsip lainnya, antara lain duty of care (kewajiban untuk memelihara, berhati-hati dalam mengambil keputusan dan memperdulikan kondisi perseroan), duty of good faith (keharusan untuk mengurus perusahaan dengan itikad baik), duty of loyalty (kewajiban untuk mengambil kebijakan sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan). Prinsip-prinsip ini banyak disinggung dalam UU PT, pada pasal-pasal yang mengatur tentang direksi.

Doctrine of ultra vires

Selain tugas dan kewajiban yang telah diuraikan di atas, Direksi dilarang melakukan kegiatan yang berada di luar kewenangannya atau yang disebut dengan kegiatan ultra vires. Hal inilah yang disebut dalam hukum perseroan (corporation law) sebagai doctrine of ultra vires. UU PT juga mengadopsi doktrin ini, yang diakomodir pada pasal 1 ayat (1) yang menjelaskan pengertian Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yaitu organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan /atau anggaran dasar. Apabila kewajiban dan larangan itu dilanggar oleh direksi dan mengakibatkan perseroan mengalami kerugian, maka direksi dapat dituntut pertanggungjawabannya secara pribadi.

Business Judgement Rule

Di samping mengatur tentang kewajiban dan larangan, UU ini juga secara seimbang mengatur tentang pembelaan Direksi yang dikenal dengan business judgement rule. Robert Charles Clark dalam bukunya corporate law, mendefinisikan business judgement rule adalah " a presumption that in making business decission, the directors of corporation acted on an informed basis in good faith and in the honest belief that the action was taken in the best interest of the company." Sedangkan dalam UU PT, pada pasal 97 ayat (5), di sebutkan syarat-syarat berlakunya prinsip ini, yaitu bila bisa membuktikan bahwa (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,(b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian,dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Fungsi Fit and Proper Test

Menyadari begitu besarnya peran direksi di dalam menentukan keberhasilan perseroan, UU ini juga secara umum mengatur syarat-syarat untuk menjadi Direktur yang dapat dilihat pada pasal 93. Bahkan untuk Perbankan, Bank Indonesia mengaturnya lebih ketat di dalam aturan tersendiri. Tanggung jawab Direktur diatur dengan azas kolegial, independen dan tanggung renteng. Sehingga di dalam menjalankan tugasnya mereka dituntut untuk profesional, independen baik terhadap pihak di luar perseroan maupun di dalam perseroan termasuk terhadap direktur lainnya, serta memiliki tanggung jawab yang sama dihadapan hukum. Di sisi lain, kerja sama di antara Direktur didalam mengelola perseroan tetap dibutuhkan. Oleh karenanya proses fit and proper test mutlak harus dilakukan sebelum direktur diangkat. Proses fit and proper test harus dilakukan oleh lembaga yang berkompeten, pakar yang ahli di bidangnya serta dilaksanakan secara jujur dan independen. Dengan proses ini akan dapat dinilai tingkat kompetensi, integritas dan team work direksi.

Sedangkan untuk menguji apakah calon Direksi tersebut dapat bekerjasama dalam satu tim (board), maka dapat dinilai melalui beberapa faktor seperti visi, rencana kerja, cara pandang dan pemikiran oleh masing-masing calon. Calon-calon Direktur yang memiliki kesamaan, kesejalanan atau saling bersinergi, pada faktor-faktor tersebut adalah mereka yang bisa bekerjasama. Dengan cara ini, maka indepedensi masing-masing direktur dapat dijaga sejak dini. Sedangkan untuk memilih direktur utama harus dipilih calon yang memiliki kemampuan leadership yang paling kuat karena di dalam UU PT ini, peran direktur utama bukan lagi sebagai pimpinan mutlak tetapi lebih berperan sebagai koordinator Direksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar